Malam itu ketika browsing aku melihat di sudut kanan bawah layar nama dia, temanku di sana dengan tanda ikon hijau yang menyala. aku sengaja menyapanya, kemudian ia bercerita.
Ia baru saja mengirimkan email resign. bulan depan ia tak bekerja lagi. mau pindah kemana tanyaku. tidak pindah kemana-mana, jawabnya. terus apa rencanamu selanjutnya? belum ada.
Jawaban-jawaban itu mengisyaratkan sebuah keputusasaan atau depresi karena terus menerus ditolak pacar. bukankah di tempat kerjanya saat ini sudah cukup nyaman. perusahaan ternama dengan reputasi bagus di media sosial? lalu apa yang dia cari? gaji yang lebih tinggi?
Namun ia memutuskan resign bukan karena itu semua itu. gaji sangat memadai dengan kompetensi yang dia punya. dia orang yang cukup menarik, sehingga peluang menebar konflik cukup nol persen. orangnya smart, kemungkinan kecil dia tidak bisa menghandle apa yang dia hadapi.
Lalu apa yang menyebabkan dia memutuskan tidak bekerja?
Kemudian aku mendesaknya, menginterogasinya dan sukses. begini dia mengaku, “aku ingin berhenti saja. aku ingin mengikuti kata hati yang selama ini terabaikan: menulis dan memotret. semakin lama aku menjadi pekerja, semakin jauh aku bisa melakukan apa yang sesuai passionku. hidup hanya sekali, tak bisa diulang. sementara waktu terlalu singkat dan tak bisa dibeli dengan apapun”
Dia seperti menunjukkan keyakinan, keberanian, percaya diri dan tidak menghawatirkan masa depan. ketika aku tanya bagaimana dia akan survive di jakarta yang menurut para perencana keuangan harus mempunyai tabungan minimal 6 bulan gaji? dia menjawab santai, aku merasa tak perlu banyak uang. kalau kita fokus dan hasilnya bagus, pasti uang akan mengikuti. kalau tidak dan duit habis ga bisa makan, mungkin baru nyari kerja lagi.sesimple itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar